Salah satu budaya orang Indonesia kalau boleh dibilang musiman adalah mudik. Didasari dengan karakter asli orang Indonesia yang humanis, mudik menurut saya adalah aktivitas seorang perantau yang ingin bersilaturahmi dengan orang tua dan sanak keluarga di kampung halamannya yang dilakukan pada momen tertentu. Lebaran atau Idul Fitri adalah momen keagamaan muslim Indonesia yang seringkali dijadikan waktu yang tepat oleh para perantau untuk mudik, walau apapun latar belakang agamanya. Setelah sekian lama mereka mencari nafkah/penghidupan di kota-kota besar, tiba waktunya bagi mereka melepas kerinduan dan men"share" apa yang telah mereka dapat dengan sanak keluarga di kampung halamannya.
Politik menurut saya adalah suatu cara yang dilakukan demi mencapai suatu tujuan. Jelas disini digambarkan bahwa mudik adalah sutu tujuan perantau untuk pulang ke kampung halamannya. Nah untuk mencapai tujuan tersebut, si pemudik perlu suatu cara bagaimana dia bisa dengan tenang, aman dan nyaman sampai di tempat tujuan, karena bukan hanya seorang atau sekelompok pemudik saja yang memanfaatkan momen tahunan ini, tapi berjuta-juta pemudik dengan waktu yang hampir bersamaan pula, coba bayangkan betapa repotnya !. Pemerintah, dalam hal ini Dephub (Departemen Perhubungan) setiap tahun juga telah ikut mengatur semua hal yang berkaitan dengan aktivitas mudik ini, baik sarana maupun prasarananya. Dengan tidak mengecilkan peran serta pemerintah dalam mengatur aktivitas ini, tentunya masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan di lapangan, mulai dari sarana transportasi, prasarana jalan, dan sebagainya.
Pemudik dalam hal ini perlu suatu cara yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuannya. Menggunakan kendaraan pribadi adalah suatu cara yang cukup banyak dilakukan bagi para pemudik dengan tidak melihat latar belakang sosialnya. Setelah pada tahun-tahun sebelumnya kendaraan roda empat atau mobil mendominasi cara mudik seperti ini, kini kendaraan roda dua/motor pun sudah banyak yang dipakai untuk mudik. Kemacetan di jalan (bagi pengguna mobil pribadi), mahal dan sulitnya memperoleh tiket angkutan umum, perbekalan yang tidak memadai adalah segelintir masalah mengapa orang pada 5 tahun terakhir ini, banyak memakai motor untuk transportasi mudiknya. Cara ini adalah politik untuk mudik yang paling beresiko, mengingat motor adalah alat transportasi yang tidak direkomendasikan untuk menempuh perjalanan jauh dan membawa barang banyak. Namun dilihat dari masalah klise mudik, cara ini memang terbilang efektif dan efisien. Dengan konsumsi BBM yang relatif murah (sedikit), tidak mengalami hambatan kemacetan dan nantinya juga bisa dipakai di tempat tujuan sebagai transportasi untuk silaturahmi, adalah alasan yang tepat mengapa saat ini banyak pemudik yang memakai jenis transportasi ini untuk mudik.
Ada satu pengalaman dari teman saya beberapa tahun yang lalu, yang akan saya ceritakan untuk para pembaca mengenai cara mudik yang satu ini. Sebut saja namanya Ari, dia adalah perantau dari Brebes Jawa Tengah yang sudah sekian lama mengadu nasib di ibu kota. Tiga bulan sebelum lebaran, dia melangsungkan pernikahan sehingga uang tabungannya habis. Disini saya tidak menceritakan proses perkawinannya ya....hehehe... . Ari pusing karena uang THR yang didapat dari perusahaannya tidak mencukupi untuk biaya mudik berdua dengan istrinya, maka timbullah ide kreatif dan sedikit nakal untuk mengatasinya, yaitu dengan cara mengambil kredit sepeda motor dari shohrom via leasing. Pada waktu itu banyak leasing yang menawarkan promo dengan Dp murah. Dengan Dp sebesar Rp. 600.000,-, Ari sudah memiliki motor baru yang gres dan siap untuk dipakai mudik. Ketentuan dan syarat yang diberikan perusahaan leasing mengenai angsuran perbulannya pada aktu itu adalah apabila 2 bulan berturut-turut, cicilan tidak dibayarkan, maka kendaraan akan langsung ditarik kembali oleh pihak leasing. Mensiasati kelemahan syarat itu, maka beranilah Ari mengambil motor dan memakainya selama kurang lebih 2 bulan yang sudah dia pakai untuk mudik dan keperluan lainnya. Setelah selama 2 bulan masa cicilan tersebut, Ari tidak pernah membayar cicilannya, akibatnya pada bulan selanjutnya motornya pun ditarik oleh pihak leasing. Kecewakah Ari?, ternyata tidak, dia malah cengengesan, dan berkata "lumayan motornya sudah aku pakai untuk mudik, pergi kemana-mana, dan sekalian pamer pada orang kampung, kalau saya baru membeli motor baru, coba hitung berapa ongkos pulang kampung berdua istri, kalau tidak pake motor", mendengar perkataannya saya langsung tertawa dan sedikit berpikir, gila juga ya idenya, walaupun ada beberapa resiko yang akan dia dapat nantinya.
Dari pengalaman teman saya diatas itu, maka saya berkesimpulan bahwa cara yang dipakai oleh Ari tersebut adalah merupakan politik untuk mudik dalam mensiasati segala keterbatasan dengan menempuh segala resiko yang ada. Tidak jauh dalam dunia politik yang menggunakan beberapa cara untuk mencapai suatu tujuan walaupun menempuh berbagai resiko. Semoga cara ber"politik" Ari untuk mudik yang diceritakan dapat menumbuhkan ide atau cara lainnya dari pembaca yang ingin mudik juga, asalkan jangan meniru cara-cara Ari tersebut, karena selain beresiko dan juga syarat dan ketentuan pihak leasing sekarang yang makin ketat, juga nantinya saya bisa dimarahi pihak leasing......hehehe...
1 komentar:
sangat menarik, kira2 ada politik (cara) lainnya gak yang sperti itu bos......wkwkwk
Posting Komentar